Di ujung koridor, di antara bayangan lampu dan percikan air dari genting bocor, aku melihatnya. Sosok yang membuat napas tercekat dan waktu seketika menahan detik. Rambut hitamnya jatuh lembut di bawah kerudung tipis. Gerakannya tenang, seperti seseorang yang akrab dengan kesunyian. Perempuan teduh yang pernah kucuri tatapnya di senja Dago.  Ia sedang menutup loker besi. Bunyi kunci yang beradu terdengar pelan, larut bersama irama hujan. Ada sesuatu dalam dadaku yang bergerak lebih cepat dari logika, seperti isyarat yang tak butuh alasan. Aku menapaki sisa lorong yang basah.

 “Permisi…,” suaraku nyaris hilang di sela rintik.

Ia menoleh. Tatapan mata kecokelatan itu kembali menyalakan jeda yang dulu hanya sempat sekejap di Dago. Ada cahaya hangat yang menembus udara dingin, seperti salam yang tak diucapkan.

Aku memberanikan diri melangkah lebih dekat.

“Kita… pernah bertemu, kan? Di Dago. Saat senja,” ucapku pelan, takut terdengar terlalu yakin.

Sekilas matanya membesar, lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Saya juga merasa begitu,” jawabnya lembut.

“Waktu itu hujan juga, ya?”

Aku mengangguk. Degup jantung semakin nyata, seperti mengetuk dinding dadaku. Tanpa banyak pikir, aku melepas jaket abu yang sejak pagi kupakai. Perlahan kusampirkan di bahunya dari belakang—gerakan kecil yang bagiku terasa seperti doa.

“Jangan sampai sakit, ya. Pakai jaketnya” kataku, menjaga nada agar tetap ringan.

Ia menatap jaket yang menutupi bahunya, lalu menatapku. Senyum kecilnya merekah, hangat di tengah udara yang dingin.